The Courage to Be Disliked karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga: Berani untuk Tidak Disukai

The Courage to Be Disliked karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga: Berani untuk Tidak Disukai
The Courage to Be Disliked karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga: Berani untuk Tidak Disukai

Pernahkah kamu merasa kelelahan karena terus mencoba menyenangkan semua orang? Atau merasa tidak bebas karena hidupmu terasa seperti ditentukan oleh pandangan orang lain? Jika iya, mungkin kamu sedang menjalani hidup yang terlalu bergantung pada penerimaan sosial. Padahal, salah satu kunci menuju hidup yang lebih bahagia justru terletak pada satu hal sederhana tapi sulit dilakukan: berani untuk tidak disukai.

Buku The Courage to Be Disliked karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga menawarkan perspektif yang segar dan membebaskan. Buku ini bukan sekadar buku pengembangan diri biasa. Ia membahas gagasan mendalam tentang kebebasan, kebahagiaan, dan tanggung jawab hidup manusia melalui dialog filosofis yang ringan namun tajam antara seorang filsuf dan seorang pemuda. Pemikiran yang disampaikan dalam buku ini didasarkan pada teori psikologi Alfred Adler, salah satu tokoh besar dalam psikologi modern yang namanya tidak seterkenal Freud atau Jung, tapi memiliki ide yang sangat revolusioner.

Berikut ini adalah empat gagasan utama dari buku tersebut yang layak direnungkan dan diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

1. Masa Lalu Tidak Menentukan Masa Depan

Salah satu mitos terbesar yang sering dipercayai banyak orang adalah bahwa masa depan kita telah ditentukan oleh masa lalu. Jika seseorang mengalami kegagalan atau trauma di masa lalu, maka ia akan membawa luka itu selamanya dan tidak akan bisa menjadi versi terbaik dari dirinya. Tapi apakah itu benar?

Menurut Adler, bukan pengalaman yang menentukan masa depan kita, tetapi makna yang kita berikan terhadap pengalaman itu. Dalam kata lain, kita selalu punya pilihan untuk menafsirkan ulang apa yang telah terjadi. Trauma dan luka masa lalu bisa menjadi alasan untuk menyerah, tapi bisa juga menjadi batu loncatan untuk tumbuh.

Contohnya, seorang anak yang dulu pernah dibully mungkin merasa tidak percaya diri saat dewasa. Tapi bukan karena bullying-nya, melainkan karena ia memilih untuk percaya bahwa pengalaman buruk itu mendefinisikan siapa dirinya. Padahal, ketika dewasa, setiap orang memiliki kebebasan penuh untuk menentukan jalan hidupnya. Kita bisa memilih menjadi pribadi yang kuat, percaya diri, dan tangguh meski masa lalu tidak selalu baik.

Dengan sudut pandang ini, kita mulai memahami bahwa hidup bukan tentang apa yang pernah terjadi, tapi tentang apa yang kita pilih hari ini.

2. Hidup Bukan Kompetisi dengan Orang Lain

Di era media sosial, sulit untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain. Kita melihat teman lama memamerkan mobil baru, liburan ke luar negeri, atau pencapaian karier yang gemilang. Sementara kita merasa hidup kita biasa-biasa saja. Akibatnya, tanpa sadar kita masuk ke dalam jebakan kompetisi sosial.

Namun, dalam pandangan Adlerian, hidup bukanlah perlombaan. Tidak ada pemenang atau pecundang dalam hidup. Kita semua berjalan di jalur masing-masing, dan tidak ada keharusan untuk menjadi yang tercepat atau terbaik dibandingkan orang lain. Yang terpenting adalah kita terus bertumbuh dan menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.

Banyak orang sulit merasa bahagia karena mereka tidak bisa merayakan keberhasilan orang lain. Mereka melihat kesuksesan orang sebagai kekalahan pribadi. Padahal, jika kita berhenti membandingkan dan mulai melihat orang lain sebagai kawan seperjalanan, hidup akan terasa jauh lebih ringan. Kita bisa belajar dari mereka, bukan merasa terancam oleh mereka.

Ingatlah, satu-satunya orang yang pantas dibandingkan dengan dirimu hari ini adalah dirimu sendiri kemarin.

3. Fokus pada Urusanmu Sendiri

Apakah kamu sering merasa tertekan untuk menyenangkan orang lain? Merasa harus selalu disukai oleh atasan, teman, pasangan, atau keluarga? Jika iya, mungkin kamu terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain, bukan urusanmu sendiri.

Salah satu konsep penting dalam buku ini adalah membedakan antara "urusanmu" dan "urusan orang lain". Contohnya, jika kamu belajar dengan sungguh-sungguh, itu adalah urusanmu. Tapi apakah hasil belajarmu akan membuat orang lain terkesan atau tidak, itu adalah urusan mereka.

Ketika kita mencoba mengatur pikiran, perasaan, atau reaksi orang lain terhadap kita, kita sebenarnya sedang melewati batas. Kita tidak bisa mengendalikan bagaimana orang lain memandang kita. Yang bisa kita kontrol adalah sikap dan tindakan kita sendiri. Dan saat kita mulai fokus pada urusan kita sendiri, kita akan lebih damai dan tidak terbebani oleh harapan eksternal.

Kebebasan sejati adalah ketika kamu hidup sesuai dengan nilai yang kamu percayai, meski itu berarti tidak semua orang akan menyukaimu. Dan itu tidak apa-apa.

4. Keberanian Menjadi Orang Biasa

Kita hidup di era yang terus-menerus mendorong kita untuk menjadi luar biasa. Harus punya karier cemerlang, pengikut banyak, rumah mewah, dan kesuksesan yang bisa dipamerkan. Namun, tuntutan itu justru sering membuat kita kehilangan arah. Kita jadi terlalu fokus pada pencapaian, dan lupa menikmati perjalanan.

The Courage to Be Disliked menawarkan pendekatan berbeda: tidak apa-apa menjadi orang biasa. Tidak apa-apa jika hidupmu tidak viral. Tidak apa-apa jika kamu tidak menjadi yang terbaik di bidangmu. Yang penting adalah kamu menjalani hidupmu dengan jujur dan utuh, menikmati proses dan tumbuh dari hari ke hari.

Hidup itu seperti menari, bukan tentang ke mana kita bergerak, tapi bagaimana kita menikmati gerakannya. Kita berpindah dari satu titik ke titik lain, bukan karena kita ingin cepat sampai, tapi karena kita ingin menari dengan sepenuh hati.

Hidup bukan tentang hasil akhir, tapi tentang momen yang dijalani saat ini. Dan kebahagiaan sering kali tersembunyi di balik kesederhanaan.

Penutup: Berani untuk Bahagia, Berani untuk Tidak Disukai

Membaca The Courage to Be Disliked adalah pengalaman yang mengajak kita untuk menantang cara pikir lama yang selama ini mengekang. Buku ini tidak mengajarkan kita cara menjadi hebat di mata orang lain, tapi mengajarkan kita untuk menjadi utuh di mata diri sendiri.

Berani untuk tidak disukai bukan berarti menjadi egois atau acuh tak acuh. Justru, itu adalah bentuk keberanian tertinggi, keberanian untuk hidup jujur, bertanggung jawab atas pilihan sendiri, dan berdamai dengan fakta bahwa tidak semua orang akan menyukai kita. Dan itu bukan masalah.

Kita bisa berhenti bersembunyi di balik pencitraan. Kita bisa berhenti menyesuaikan diri hanya demi validasi. Kita bisa memilih hidup yang lebih ringan, lebih tenang, dan lebih bahagia. Semua itu dimulai saat kita berani berkata: “Aku tidak harus disukai semua orang, yang penting aku bisa menyukai diriku sendiri.”
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url