Contagious Why Things Catch On karya Jonah Berger: Apa yang Membuat Sebuah Produk atau Jasa Bisa Viral?
![]() |
Contagious Why Things Catch On karya Jonah Berger: Apa yang Membuat Sebuah Produk atau Jasa Bisa Viral? |
Pernah nggak kamu melihat suatu produk yang tiba-tiba ramai dibicarakan orang? Mulai dari teman di grup WhatsApp, unggahan di media sosial, sampai dibahas influencer dan media. Rasanya dalam semalam, semua orang tahu dan penasaran ingin mencoba. Tapi di sisi lain, ada juga produk yang sebenarnya bagus, desainnya oke, harganya murah, promosinya gencar, tapi tetap saja sepi peminat.
Apa sih yang membedakan keduanya?
Banyak orang berasumsi bahwa produk atau jasa yang viral pasti karena kualitasnya jauh lebih baik. Mungkin karena tampilannya menarik, lebih efektif, lebih mudah digunakan, atau punya fitur yang lebih canggih. Bisa juga karena harganya yang lebih ramah di kantong. Kalau kita ditawari dua barang serupa, wajar dong kalau kita memilih yang lebih murah?
Faktor lainnya bisa karena promosi besar-besaran. Iklan di mana-mana, dari YouTube sampai billboard. Ketika kita sering melihat suatu brand, muncul kesan bahwa brand tersebut lebih terpercaya, lebih laris, atau lebih “pantas” untuk dicoba. Tapi nyatanya, kualitas tinggi, harga miring, dan iklan masif tetap tidak menjamin sebuah produk bisa viral.
Lalu, apa sebenarnya yang membuat sebuah produk atau jasa bisa viral?
Viral = Dibicarakan Orang
Di era digital, kita cenderung menganggap sesuatu viral karena banyak yang membagikannya di media sosial. Tapi, pada dasarnya, konsep ini sudah ada sejak dulu dan dikenal dengan nama word of mouth alias pemasaran dari mulut ke mulut.
Word of mouth adalah kekuatan luar biasa yang memengaruhi keputusan seseorang dalam membeli. Mengapa? Karena kita cenderung percaya pada rekomendasi dari orang yang kita kenal. Saat teman dekat menyarankan sebuah produk, kita jauh lebih percaya dibandingkan dengan iklan mahal di TV.
Yang menarik, orang yang menyebarkan informasi biasanya hanya akan membagikannya kepada orang yang mereka anggap membutuhkan. Artinya, penyebaran informasi jadi lebih relevan, personal, dan tepat sasaran.
Pertanyaannya sekarang: apakah butuh modal besar agar produk kita dibicarakan banyak orang? Jawabannya: tidak selalu. Yang paling penting adalah: apakah produk, jasa, atau ide kamu cukup menarik untuk dibicarakan?
6 Prinsip Produk Bisa Viral
Hal ini dijelaskan secara mendalam dalam buku Contagious: Why Things Catch On karya Jonah Berger, seorang profesor pemasaran dari Wharton School, University of Pennsylvania. Selama bertahun-tahun, Berger melakukan riset mengenai alasan mengapa suatu produk, ide, atau layanan bisa viral. Hasilnya? Ia menyimpulkan bahwa word of mouth memengaruhi keputusan pembelian hingga 20–50%.
Dalam bukunya, Berger menjelaskan enam prinsip utama agar sesuatu bisa viral. Prinsip ini disingkat dengan akronim STEPPS: Social Currency, Triggers, Emotion, Public, Practical Value, dan Stories.
1. Social Currency – Membuat Orang Terlihat Keren
Orang senang membicarakan hal-hal yang bisa membuat mereka terlihat keren, cerdas, atau eksklusif. Ini disebut social currency “mata uang sosial” yang mereka tukarkan untuk membangun citra diri.
Contoh fenomenal adalah burger seharga 100 dolar. Saat burger biasanya dijual 5 dolar, seorang pengusaha bernama Howard Wayne menjual burger dengan harga 100 dolar. Reaksi orang? “Hah, burger segitu mahal?” Tapi itulah poinnya: karena tidak biasa, justru jadi menarik. Orang yang makan burger itu merasa punya kebanggaan tersendiri karena bisa mencoba “burger termahal”, dan tentu saja mereka menceritakannya ke orang lain.
Contoh lain adalah Please Don’t Tell, sebuah bar rahasia di New York. Tidak ada papan nama, bahkan pintu masuknya tersembunyi di balik bilik telepon dalam toko hot dog. Karena unik dan eksklusif, orang jadi penasaran dan membagikannya. Pengalaman unik seperti ini menciptakan social currency yang tinggi.
2. Triggers – Menciptakan Pengingat di Kehidupan Sehari-hari
Agar produk selalu diingat, kita harus mengaitkannya dengan kebiasaan atau aktivitas sehari-hari. Inilah yang disebut dengan trigger atau pemicu.
Contohnya KitKat dengan kampanye “Have a break, have a KitKat”. Mereka mengaitkan produknya dengan momen istirahat. Jadi, setiap kali orang merasa butuh istirahat, otaknya otomatis mengingat KitKat.
Yang penting di sini adalah dua hal: frekuensi (seberapa sering pemicunya muncul) dan kekuatan asosiasi (seberapa kuat pengaitannya). Misalnya, kopi dikonsumsi setiap hari, sehingga cocok untuk menjadi pemicu produk lain. Sementara itu, cokelat panas yang musiman tentu lebih jarang muncul sebagai pemicu.
3. Emotion – Membangkitkan Perasaan
Orang lebih mudah membagikan sesuatu yang membuat mereka merasakan sesuatu. Tidak hanya informasi, tetapi juga emosi.
Menurut Berger, konten dengan emosi positif seperti bahagia, kagum, atau terinspirasi lebih cenderung viral dibanding emosi negatif. Meski begitu, emosi negatif yang kuat seperti kemarahan atau kejutan juga bisa memicu penyebaran, asal intensitasnya tinggi.
Contohnya adalah iklan “Parisian Love” dari Google. Iklan ini menampilkan kisah cinta seorang mahasiswa asing di Paris, hanya dengan menampilkan pencarian di Google. Tanpa narasi, tanpa aktor, hanya teks pencarian, tapi sangat emosional. Di akhir video, kita tersenyum dan merasa hangat. Dan kita ingin membagikannya ke orang lain.
4. Public – Harus Terlihat
Agar suatu hal bisa viral, harus mudah terlihat oleh orang lain. Produk atau layanan yang “tersembunyi” sulit untuk dibicarakan karena tidak terlihat.
Contohnya kampanye sosial Shave for Hope, di mana sukarelawan mencukur habis rambut mereka sebagai bentuk empati untuk penderita kanker. Karena drastis dan mencolok, orang-orang di sekitarnya penasaran dan bertanya. Ini membuat cerita kampanye menyebar secara alami.
5. Practical Value – Memberi Manfaat Nyata
Orang senang membagikan sesuatu yang mereka anggap bermanfaat. Informasi yang praktis, solutif, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari akan lebih mudah disebarkan.
Contoh nyatanya adalah channel “Si Kutu Buku” di YouTube yang membagikan ringkasan buku-buku internasional dalam bahasa Indonesia. Ini sangat membantu orang yang ingin belajar tapi punya keterbatasan waktu atau bahasa. Nilai praktis seperti ini mendorong orang untuk menyebarkannya karena “berguna” untuk orang lain.
6. Stories – Cerita Lebih Menempel daripada Fakta
Fakta bisa dilupakan, tapi cerita lebih mudah diingat. Orang lebih suka berbagi cerita daripada data.
Salah satu contoh menarik adalah kampanye “Will It Blend?” dari merek blender Blendtec. Mereka membuat video berisi eksperimen blender menghancurkan benda-benda ekstrem seperti iPhone X. Video ini sangat populer bukan karena teknologinya, tapi karena ceritanya unik dan mengejutkan. Dalam sekejap, orang langsung mengerti: “Blender ini sangat kuat, bahkan bisa menghancurkan iPhone!”
Kesimpulan: Viral Itu Direncanakan, Bukan Kebetulan
Jadi, kalau kamu ingin produk atau jasamu viral, jangan hanya mengandalkan keberuntungan, iklan besar, atau potongan harga. Pahami bagaimana orang berpikir, merasa, dan berbagi. Gunakan enam prinsip dari Jonah Berger untuk membuat produkmu layak untuk dibicarakan.
Ingat: viral itu bukan kebetulan. Viral adalah hasil dari desain yang disengaja, strategi yang matang, dan yang paling penting produk atau ide yang benar-benar layak untuk dibagikan.