Aku masih ingat hari itu—hari di mana aku memutuskan untuk berjalan kaki tanpa arah. Bukan karena sok petualang, tapi lebih karena butuh menjauh sebentar dari layar, rutinitas, dan deretan notifikasi yang tak pernah habis. Rasanya seperti ingin menyuarakan sesuatu, tapi tak tahu kepada siapa dan bagaimana.
Awalnya hanya ingin ke warung yang jaraknya lima menit dari rumah. Tapi langkah kakiku malah membelok ke jalan yang belum pernah kulewati sebelumnya. Trotoarnya sempit, pohon-pohon liar tumbuh di sisi kanan, dan suara jangkrik terdengar terlalu dekat meski matahari masih tinggi. Anehnya, aku merasa tenang. Tak ada peta, tak ada GPS, hanya firasat yang memandu ke mana kaki ingin melangkah.
Sepuluh menit berubah jadi tiga puluh. Jalanan semakin asing. Aku sempat ragu—apakah harus putar balik? Tapi entah kenapa, aku terus maju. Di persimpangan kecil, aku bertemu seorang bapak tua yang sedang menyapu halaman. Ia menatapku dengan senyum ringan, seperti tahu bahwa aku sedang “tersesat” tapi juga sedang belajar sesuatu.
“Kadang, kalau semua terasa penuh, kita memang harus keluar jalur dulu.”
Kalimat itu melekat sampai sekarang. Bukan cuma karena membantuku menemukan arah kembali, tapi karena itu benar-benar menggambarkan apa yang sering kita alami dalam hidup. Kita terbiasa dengan rencana, tenggat waktu, dan target. Tapi dalam banyak hal, justru momen “tersesat”—di mana kita tidak tahu apa yang harus dilakukan—yang memberi ruang bagi pemahaman baru.
Aku kembali ke rumah sejam kemudian, lelah tapi entah kenapa ringan. Bukan karena sudah menemukan arah, tapi karena aku memberi diriku kesempatan untuk diam, berjalan, dan mendengarkan dunia tanpa suara mesin dan jadwal padat.
Terkadang, kita memang perlu berjalan tanpa peta. Bukan karena tak punya tujuan, tapi karena kita sedang belajar mempercayai intuisi dan memperlambat langkah.