Factfulness karya Hans Rosling: Dunia Tidak Seburuk yang Kita Pikirkan

Factfulness karya Hans Rosling: Dunia Tidak Seburuk yang Kita Pikirkan
Factfulness karya Hans Rosling: Dunia Tidak Seburuk yang Kita Pikirkan

Mari kita akui, di era informasi seperti sekarang ini, rasanya sulit untuk tidak merasa cemas tentang keadaan dunia. Berita-berita negatif bertebaran di mana-mana, konflik politik, krisis ekonomi, perubahan iklim, hingga pandemi global. Ketika ditanya, "Bagaimana menurutmu kondisi dunia saat ini?" Jawaban umum yang muncul pasti sesuatu seperti, "Dunia semakin buruk." Benarkah? Atau jangan-jangan, kita hanya salah memahami realitas karena terjebak pada bias dan insting yang keliru?

Inilah yang coba diungkap oleh Hans Rosling dalam bukunya yang luar biasa, Factfulness. Buku ini bukan sekadar kumpulan data atau statistik membosankan, melainkan sebuah panduan praktis untuk melihat dunia dengan cara yang lebih objektif. Dengan gaya penulisan yang ringan namun mendalam, Rosling mengajak kita untuk berhenti memandang dunia melalui lensa pesimisme dan mulai melihat fakta yang ada.

Barack Obama dan Bill Gates bahkan merekomendasikan buku ini sebagai salah satu bacaan wajib. Mengapa? Karena Rosling berhasil menjelaskan bagaimana kita sering kali salah memahami dunia, terutama di era hoaks dan berita palsu yang begitu mudah tersebar. Menariknya, ia juga memberikan alat-alat untuk mengoreksi cara pandang kita. Salah satu konsep utamanya adalah apa yang disebut "insting manusia" kecenderungan mental yang membuat kita melihat dunia secara keliru. Di sini, saya akan membahas tiga insting yang paling relevan dalam kehidupan sehari-hari, serta bagaimana kita bisa belajar untuk melihat dunia dengan lebih jernih.

1. Gap Instinct: Dunia Bukan Hitam-Putih, Melainkan Abu-Abu

Kapan terakhir kali Anda mendengar istilah "negara berkembang" dan "negara maju"? Pasti sering, kan? Namun, Rosling berargumen bahwa istilah ini sudah usang. Dunia tidak bisa dibagi menjadi dua kategori ekstrem seperti itu. Mayoritas populasi dunia justru berada di tengah-tengah.

Untuk menjelaskan ini, Rosling menggunakan framework berdasarkan tingkat kekayaan individu:

  • Level 1: Pendapatan kurang dari $2 per hari (1 miliar orang). Mereka hidup tanpa alas kaki, memasak dengan api unggun, dan tidur di tanah.
  • Level 2: Pendapatan $2–$8 per hari (3 miliar orang). Mereka sudah memiliki sepatu, kompor, dan anak-anak mereka bersekolah.
  • Level 3: Pendapatan $8–$32 per hari (2 miliar orang). Mereka punya kulkas, air bersih di rumah, dan anak-anak mereka bersekolah hingga SMA.
  • Level 4: Pendapatan lebih dari $32 per hari (1 miliar orang). Mereka memiliki pendidikan tinggi, mobil, dan akses untuk liburan.
Pada tahun 1965, separuh populasi dunia hidup di Level 1. Sekarang, jumlahnya hanya sekitar 13%. Fakta ini menunjukkan bahwa kemajuan telah terjadi secara signifikan. Namun, gap instinct membuat kita tetap berpikir bahwa dunia masih terbagi antara "kaya" dan "miskin."

Gap instinct ini sering kali muncul dalam percakapan sehari-hari. Misalnya, ketika kita membicarakan teknologi. Kita sering menganggap bahwa ada negara-negara yang sepenuhnya canggih, sementara yang lain masih sangat tradisional. Padahal, banyak negara yang berada di tengah-tengah. Mereka mungkin belum memiliki infrastruktur teknologi yang setara dengan Silicon Valley, tetapi mereka sudah menggunakan smartphone, internet, dan layanan digital lainnya.

Rosling juga menekankan bahwa gap instinct tidak hanya berlaku untuk negara, tetapi juga untuk individu. Misalnya, ketika kita menggeneralisasi seseorang berdasarkan status sosialnya. Kita mungkin menganggap bahwa seseorang yang miskin tidak bisa berpendidikan tinggi, padahal banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah penghalang bagi kesuksesan.

2. Straight Line Instinct: Dunia Tidak Bergerak Lurus Seperti Grafik

Bayangkan ini: Anda mendengar proyeksi PBB bahwa populasi dunia akan mencapai 9,8 miliar pada tahun 2050. Apa reaksi Anda? Mungkin Anda langsung berpikir, "Wah, populasi akan terus bertambah tanpa henti!" Ini adalah contoh "straight line instinct" kecenderungan kita untuk menganggap bahwa setiap tren akan selalu naik dalam garis lurus.

Namun, kenyataannya tidak demikian. Ketika taraf hidup seseorang meningkat, jumlah anak yang dilahirkan tiap keluarga justru menurun. Ini adalah pola yang terlihat dalam data historis. Rosling memberikan analogi menarik tentang pertumbuhan anak. Di usia balita, anak bertumbuh sangat cepat. Namun, semakin dewasa, pertumbuhannya melambat hingga akhirnya berhenti. Begitu pula dengan tren global tidak semua hal bergerak lurus ke atas.

Contoh lain dari straight line instinct adalah ketika kita membicarakan perubahan iklim. Banyak orang langsung berpikir bahwa suhu bumi akan terus meningkat tanpa henti, padahal para ilmuwan telah menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim bisa diperlambat jika kita mengambil tindakan yang tepat. Data menunjukkan bahwa emisi karbon di beberapa negara maju sudah mulai menurun, meskipun tantangan besar masih ada di depan.

Straight line instinct sering kali membuat kita panik tanpa alasan yang jelas. Kita cenderung melihat tren masa lalu dan menganggap bahwa tren tersebut akan terus berlanjut tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang bisa memengaruhi hasil akhirnya.

3. Generalization Instinct: Jangan Umumkan Semua Hal

Generalization instinct adalah kecenderungan kita untuk menyederhanakan dunia yang kompleks. Misalnya, ketika seseorang berbicara tentang Afrika, banyak orang langsung membayangkan benua itu sebagai satu tempat yang sama. Padahal, Afrika terdiri dari puluhan negara dengan budaya, sejarah, dan tingkat ekonomi yang berbeda-beda.

Menggeneralisasi Afrika sebagai "miskin" justru mengabaikan fakta bahwa kemiskinan ekstrem secara konsisten telah menurun, baik di Afrika maupun secara global. Contoh lainnya adalah ketika pandemi virus Corona melanda China. Beberapa orang langsung menganggap bahwa seluruh wilayah China terjangkit virus tersebut, padahal hanya beberapa kota saja.

Namun, generalisasi tidak selalu salah, yang penting adalah bagaimana kita melakukannya. Mengatakan mayoritas orang bla bla bla bisa sangat rancu. Apakah mayoritas berarti 99% atau hanya 51%? Rosling mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan tanpa melihat data yang lengkap.

Generalization instinct juga sering muncul dalam stereotip tentang kelompok tertentu. Misalnya, kita mungkin menganggap bahwa semua orang dari suatu agama atau etnis memiliki karakteristik yang sama. Padahal, setiap individu memiliki latar belakang, pengalaman, dan pandangan yang unik.

Mengapa Kita Perlu Belajar dari Factfulness ?

Buku ini mengajarkan kita untuk tidak terjebak pada narasi negatif yang sering kali tidak sesuai dengan fakta. Dunia memang masih memiliki banyak masalah, tetapi kita harus melihatnya dengan proporsi yang tepat. Kemajuan telah terjadi di banyak bidang, meskipun kita sering kali tidak menyadarinya karena terpengaruh oleh bias kognitif atau informasi yang tidak lengkap.

Misalnya, angka harapan hidup global telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 1950-an, angka harapan hidup rata-rata di dunia adalah sekitar 47 tahun. Sekarang, angka tersebut telah meningkat menjadi lebih dari 70 tahun. Ini adalah pencapaian luar biasa yang jarang kita sadari karena terlalu fokus pada berita negatif.

Rosling juga menyoroti bahwa kita sering kali terjebak pada perspektif negatif karena media lebih tertarik untuk menyoroti hal-hal buruk daripada hal-hal baik. Misalnya, berita tentang bencana alam atau konflik politik lebih sering muncul di headline daripada berita tentang penurunan kemiskinan atau peningkatan akses pendidikan.

Cara Melihat Dunia dengan Lebih Objektif

Lalu, bagaimana cara kita melihat dunia dengan lebih objektif? Berikut adalah beberapa tips dari Factfulness :

  • Selalu cek data. Jangan langsung percaya pada berita atau opini tanpa melihat data yang mendukungnya.
  • Berhenti membagi segala sesuatu menjadi dua kubu. Dunia lebih kompleks daripada sekadar hitam-putih.
  • Jangan langsung menggeneralisasi. Setiap kelompok atau individu memiliki karakteristik yang unik.
  • Ingat bahwa tren tidak selalu linear. Ada banyak faktor yang bisa memengaruhi hasil akhir sebuah tren.

Kesimpulan

Factfulness mengajarkan kita untuk tidak terjebak pada narasi negatif yang sering kali tidak sesuai dengan fakta. Dunia memang masih memiliki banyak masalah, tetapi kita harus melihatnya dengan proporsi yang tepat. Kemajuan telah terjadi di banyak bidang, meskipun kita sering kali tidak menyadarinya karena terpengaruh oleh bias kognitif atau informasi yang tidak lengkap.

Rosling mengakhiri bukunya dengan pesan yang sangat kuat: "Dunia tidak sempurna, tetapi ia jauh lebih baik daripada yang kita pikirkan." Pesan ini mengingatkan kita untuk tidak hanya menerima informasi begitu saja, tetapi juga memeriksa kebenarannya.

Jadi, lain kali ketika Anda membaca berita atau mendengar cerita tentang dunia, cobalah untuk bertanya: "Apakah ini benar-benar fakta, atau hanya insting saya yang bicara?"

Semoga artikel ini bisa membuka mata kita untuk melihat dunia dengan lebih jernih. Dunia tidak seburuk yang kita pikirkan dan itulah kabar baik yang patut kita syukuri.
Next Post
No Comment
Add Comment
comment url