Barking Up the Wrong Tree karya Eric Barker: Membongkar Mitos Kesuksesan dan Menemukan Jati Diri
![]() |
Barking Up the Wrong Tree karya Eric Barker: Membongkar Mitos Kesuksesan dan Menemukan Jati Diri |
Ketika berbicara tentang kesuksesan, banyak dari kita cenderung menerima asumsi tanpa mengecek apakah itu benar atau salah. Padahal, asumsi yang keliru bisa membawa kita pada keputusan yang tidak tepat. Misalnya, apakah nilai bagus di sekolah menjamin kamu akan menjadi orang sukses? Tentu saja tidak. Namun, bukan berarti pendidikan itu tidak penting. Di sekolah, kita belajar untuk mengikuti aturan dan hal ini baik. Tapi untuk meraih kesuksesan, terkadang kita perlu melangkah lebih jauh: berpikir lebih kreatif, lebih liar, bahkan berbeda dari yang lain.
Inilah inti dari diskusi dalam buku Barking Up the Wrong Tree karya Eric Barker. Buku ini tidak hanya membahas mitos-mitos umum seputar kesuksesan, tetapi juga memberikan data ilmiah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering membingungkan kita. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi tiga poin utama yang saya anggap paling relevan dari buku tersebut.
1. Nilai Bagus di Sekolah Bukanlah Jaminan Sukses
Apakah belajar rajin di sekolah tidak penting? Tentu saja penting. Pendidikan adalah fondasi penting untuk mendapatkan hidup yang lebih layak. Namun, menjadi orang paling pintar di sekolah tidak serta-merta berarti kamu akan jadi orang paling sukses. Eric Barker menunjukkan sebuah studi dari Boston College yang melibatkan 81 lulusan terbaik tahun 1981. Setelah 15 tahun, mereka semua memiliki penghasilan yang baik, tetapi tidak satu pun dari mereka yang menjadi multimiliarder. Sebaliknya, jika kita melihat daftar orang terkaya versi Forbes, banyak di antaranya adalah mahasiswa yang malah drop out.
Apa yang bisa kita simpulkan dari sini? Nilai bagus hanya mencerminkan kemampuan kita dalam mengikuti aturan. Sementara itu, dunia nyata seringkali membutuhkan lebih dari sekadar kepatuhan. Untuk sukses, kita perlu berpikir lebih gila, lebih kreatif, bekerja keras, dan memiliki komitmen yang kuat. Jadi, meski pendidikan penting, jangan lupa bahwa keberanian untuk melangkah di luar zona nyaman sama pentingnya.
2. Jaringan Itu Penting, tapi Lebih Penting Menjadi Teman Sejati
Pernahkah kamu mendengar nasihat bahwa untuk sukses, kamu harus membangun jaringan sebanyak-banyaknya? Ya, memperluas kenalan memang penting. Namun, pendekatan seperti ini sering kali tidak efektif. Lalu, apa yang lebih baik? Menurut Eric Barker, jawabannya adalah dengan menjadi teman sejati.
Bagaimana caranya? Pertama, cari kesamaan. Misalnya, jika dia suka tenis dan kamu juga suka tenis, gunakan topik ini sebagai bahan obrolan. Kedua, dengarkan dengan mendalam. Ketika bertemu orang baru, dengarkan apa yang mereka bicarakan tentang dirinya. Ini bisa menjadi titik masuk untuk mencari kesamaan. Terakhir, follow-up. Menjalin hubungan baik butuh usaha. Jangan hanya bertemu sekali, tapi agendakan pertemuan berikutnya, misalnya dengan olahraga bareng atau ikut acara komunitas.
Jangan lupa, manfaat dari hubungan baik ini mungkin tidak langsung terlihat saat ini, tapi bisa sangat berguna dalam jangka panjang. Orang-orang yang kita anggap tidak penting hari ini mungkin menjadi kunci kesuksesan kita di masa depan.
3. Orang Baik Belum Tentu Mandek dalam Karir
Ada anggapan bahwa orang baik selalu dimanfaatkan dan sulit untuk sukses. Namun, penelitian oleh Adam Grant, profesor dari Wharton University, menunjukkan bahwa orang baik (kategori giver ) karirnya berada di puncak atau di dasar. Lalu, apa yang membedakan keduanya?
Orang baik yang sukses adalah mereka yang suka menolong, tetapi juga hati-hati agar tidak dimanfaatkan oleh orang lain. Menariknya, kita juga bisa belajar dari orang yang kita anggap sebagai "jerks". Misalnya, mereka seringkali punya keteguhan yang jelas atas apa yang mereka inginkan. Mereka juga tidak ragu untuk memamerkan pencapaian mereka kepada orang lain. Hal ini penting dalam karir karena jika orang tidak tahu apa yang kamu kerjakan, mereka seringkali tidak melihat kontribusimu.
Namun, tentu saja kita tidak perlu menjadi "jahat" untuk sukses. Yang perlu kita tiru adalah ketegasan mereka dalam menyampaikan prestasi dan ambisi. Ini adalah keseimbangan yang perlu kita pelajari.
Ekstrovert vs. Introvert: Mana yang Lebih Baik?
Stigma yang berkembang di masyarakat seringkali mengklaim bahwa ekstrovert lebih baik daripada introvert. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ekstrovert cenderung lebih mudah bergaul dan melebarkan jejaring pertemanan, sehingga secara rata-rata mereka menghasilkan uang sedikit lebih banyak. Di sisi lain, introvert adalah spesialis. Mereka ahli dalam bidangnya karena biasanya menghabiskan waktu dalam kesendirian untuk fokus pada minatnya. Contohnya, 89% dari atlet-atlet top ternyata berkepribadian introvert.
Daripada sibuk membandingkan mana yang lebih baik, lebih baik kita fokus menjadi diri sendiri yang unik. Cobalah lihat kembali bagaimana cara kamu bisa diingat orang. Apakah melalui gaya pakaian yang berbeda, aksesoris yang unik, atau keahlian yang kamu kuasai? Keahlian inilah yang menjadi kekuatanmu untuk membedakan dirimu dengan orang lain.
Penutup
"Barking Up the Wrong Tree" adalah buku yang mengajak kita untuk berpikir ulang tentang mitos-mitos kesuksesan yang selama ini kita percayai. Nilai bagus di sekolah bukanlah segalanya, jaringan itu penting tapi bukan segalanya, dan kepribadian kita apakah ekstrovert atau introvert punya keunggulan masing-masing. Yang terpenting adalah menemukan keseimbangan antara aturan dan kreativitas, antara kerja keras dan fleksibilitas, serta antara menjadi diri sendiri dan belajar dari orang lain.
Jadi, mulailah dengan membaca lebih banyak, mengecek fakta, dan berani keluar dari zona nyaman. Siapa tahu, langkah-langkah kecil ini akan membawa kita pada kesuksesan yang besar.